Senin, 7 Januari 2013 | 11:45 WIB
Shutterstock
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com -
Produk intelektual bangsa Indonesia, terutama dalam bentuk publikasi
ilmiah dan paten, masih tergolong minim. Bahkan, kondisi tersebut masih
sekitar 25 persen dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Ahmad
Dading Gunadi, Asisten Deputi Relevansi Program Riset Iptek,
Kementerian Riset dan Teknologi (Kementerian Ristek), memaparkan, jumlah
publikasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain di
Asia, khususnya dengan Jepang, China, Korea Selatan, dan India.
Mengutip
data Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (Pappiptek-LIPI), Dading menjelaskan, dalam kurun waktu
2001-2010, lembaga penelitian dan pengembangan di Korea Selatan, KAIST,
menghasilkan jumlah publikasi internasional terbesar, yaitu 20.183
publikasi. Lalu, diikuti lembaga JST Jepang (13.604) dan CSIRO Australia
(11.611). ”LIPI memiliki 417 publikasi ilmiah,” kata Dading di Jakarta,
Sabtu (5/1/2012).
Jumlah publikasi itu bahkan juga lebih rendah
dibandingkan dengan negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, dan
Malaysia. Selama kurun waktu yang sama, total publikasi nasional dan
internasional dari tiga negara tetangga tersebut di atas 30.000,
sedangkan Indonesia hanya menghasilkan total publikasi 7.843 atau 25
persennya.
Jumlah patenRendahnya pencapaian juga terlihat pada perolehan hak kekayaan intelektual (HaKI), antara lain paten.
”Peningkatan
jumlah paten Indonesia yang terdaftar pada United States Patent and
Trademark Office (USPTO) masih sangat kecil,” kata Deputi Menteri Riset
dan Teknologi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek Teguh Rahardjo.
Menurut
data USPTO, permohonan paten dari Jepang ke AS selama tahun 2010
mencapai 44.811. Jerman mengajukan 12.363 aplikasi paten, sedangkan
Korea Selatan 11.671. Sementara itu, paten dari Indonesia di AS pada
tahun yang sama hanya enam permohonan. Pada tahun 2009, bahkan hanya ada
tiga permohonan paten yang diajukan.
”Aplikasi paten dari
Indonesia tidak ada peningkatan yang signifikan. Jumlahnya masih jauh di
bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Jumlah paten
Singapura dan Malaysia bahkan selalu mengalami peningkatan setiap
tahun,” urai Teguh.
Program insentifUntuk
mendorong peneliti dan perekayasa di Indonesia menghasilkan paten,
Kementerian Ristek menggelar program Insentif Riset Sistem Inovasi
Nasional sejak tahun 2007. Program ini sempat memacu peningkatan
kegiatan iptek yang ditunjukkan pada kenaikan proposal riset yang
diajukan, misalnya untuk bidang pangan dari 62 menjadi 108 proposal pada
tahun 2008. Namun, setelah itu justru cenderung terus menurun.
Menurunnya
produktivitas ilmiah peneliti di Indonesia, menurut Dading, terlihat
pada semua bidang fokus riset yang diajukan pada program insentif yang
didanai Kementerian Ristek, kecuali untuk teknologi pertahanan dan
keamanan. Adapun proposal insentif riset bidang pangan dan obat-obatan
pada tahun 2008, masing-masing 187 dan 108. Tahun 2012, menjadi 83 dan
33 proposal.
Sementara itu, proposal riset dari 9 bidang fokus
iptek pada tahun 2010 tercatat 347 proposal. Namun, pada tahun 2012
hanya 285 proposal, yang berasal dari 78 lembaga riset.
Tahun
lalu, lanjut Dading, Kementerian Ristek telah memberikan pendanaan riset
Rp 90 miliar untuk pelaksanaan sejumlah proposal riset tersebut.
(YUN)